TEMPO.CO, Jakarta - Rumah tangga seorang laki-laki, 54 tahun, di Cumbria, Inggris, diambang perceraian dan membuatnya nyaris bunuh diri setelah operasi pada Oktober 2012 berdampak fatal pada kesehatannya.
Laki-laki yang identitasnya tidak dipublikasi itu melakukan operasi pada Oktober 2012 di Rumah Sakit Furness, Cumbria, Inggris. Operasi bedah yang dijalani itu secara tak disangka membuat penis laki-laki itu menciut signifikan.
Kondisi ini bukan hanya membuatnya tidak bisa lagi berhubungan seks, tetapi juga membuatnya tidak bisa buang air kecil secara langsung lewat alat kelaminnya. Dia harus membawa ember karena dia tak bisa lagi mengontrol setiap mau buang air kecil.
Untuk kesalahan operasi itu, laki-laki tersebut mendapat uang kompensasi £125,000 atau sekitar Rp 2,1 miliar sebagai bentuk permintaan maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit.
Awalnya, laki-laki itu berpikir dia hanya perlu melakukan operasi kecil setelah mengalami kesulitan buang air kecil, namun kemudian dia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Furness. Kavinder Madhra selaku dokter bedah di rumah sakit itu mengatakan bahwa dia harus disunat.
Ketika operasi berlangsung, ternyata terlalu banyak kulit kelamin yang dipotong dan yang tertinggal hanya setengah dari kemaluannya.
Laki-laki itu mengatakan kondisi yang dia alami ini hampir menyebabkan pernikahannya hancur dan membuatnya ingin bunuh diri.
Pasien laki-laki mengatakan kepada pengadilan bahwa hidupnya hancur oleh operasi ini. Dia tidak lagi berani pergi ke tempat-tempat umum karena malu.
“Saya belum bisa pergi ke toilet dengan leluasa karena saya tidak bisa mengontrol ketika hendak buang air. Hal ini telah menghentikan saya untuk pergi ke restoran atau hari-hari apapun karena sangat sulit dan memalukan,” katanya.
Kondisi ini juga menyebabkan dia tidak bisa berhubungan seks dengan istrinya.
“Sebelum operasi, saya memiliki hubungan seks yang baik dengan istri saya, tetapi setelah operasi keadaan langsung berubah. Hal ini berdampak besar pada hubungan kami,” tambahnya.
Pihak rumah sakit sendiri mengakui bahwa terlalu banyak kulit telah dipotong selama prosedur berlangsung. Mereka juga mengakui pasien tidak sepenuhnya diperingatkan terkait peningkatan resiko menderita cedera yang dia lakukan karena dia kelebihan berat badan pada saat itu.
Pakar medis independen, yang dikonsultasikan sebagai bagian dari kasus hukum mengatakan operasi itu seharusnya dilakukan bersamaan dengan sedot lemak dan pencangkokan kulit.
Madhra, dokter yang melakukan operasi bedah ini masih diizinkan untuk melanjutkan praktiknya kendati pada 2014 sudah ada lima pasien yang mengajukan komplain atas tindakan medis yang dilakukannya. Pada 2018, Layanan Tribunal Praktisi Medis memberlakukan pembatasan pada praktiknya dan Madhra mengundurkan diri sembilan hari kemudian.
“Masalah yang dihadapi laki-laki itu pada awalnya cukup umum karena ia merasa sulit buang air karena mengalami pengetatan kulup. Berkaca pada berat badan dan kondisinya, sunat seharusnya tidak dilakukan secara terpisah, dan masalah ini diperburuk oleh ahli bedah yang memotong terlalu banyak kulit selama operasi,” Rachel O’Connor, spesialis kelalaian medis di Hudgell Solicitors.
O’Connor mengakui dampak operasi ini sangat besar pada kehidupan si pasien. Pasien laki-laki itu telah berubah dari orang yang beruntung yang memiliki kehidupan sosial yang baik, menjadi seseorang pemurung dan mudah marah. Dia merasa terjebak di rumahnya.
Laki-laki itu tidak dapat melakukan hubungan seks dengan istrinya dan kondisi ini menyebabkan dia frustasi serta depresi. Dia tidak jarang mengalami mimpi buruk setiap mengingat kembali kejadian itu.
O’Connor mengatakan bahwa laki-laki itu memiliki keinginan menjalani operasi rekonstruktif, namun dia terlanjur kehilangan kepercayaan pada dokter. Trauma yang dialaminya begitu dalam.
MIRROR - MEIDYANA ADITAMA WINATA